Apa yang membedakan antara enterpreneur
dan karyawan?
Oleh
Robert T. Kiyosaki dan Sharon L. Lechter C.P.A
Mulailah dengan merubah mindset.
Pada masa kecil dahulu, ayah miskin saya selalu memotivasi , “ belajarlah
yang rajin, meraih nilai tertinggi, kemudian memperoleh pekerjaan yang mapan”
Dari saran ayah miskin saya, dapatlah disimpulkan bahwa seseorang seharusnya
belajar dengan rajin, akhirnya memperoleh pekerjaan yang bagus.
Sebaliknya ayah kaya saya memberi saran, “ belajarlah untuk membangun bisnis sendiri,
memperkerjakan orang – orang berpengalaman dan jadilah wirausaha yang
mapan” Ayah kaya selalu memotivasi diri saya agar menjadi enterpreur yang
berhasil, walaupun bagaimana perjuangannya. Sebetulnya apa yang membedakan antara
seorang karyawan dan seorang enterpreneur.
Seorang karyawan mencari kerja pada sebuah bisnis yang telah terbangun, sebaliknya seorang enterpreneur memulai bisnis dari yang terkecil, kemudian memperkerjakan karyawan yang pintar dan berpendidikkan.
Ini bukanlah sekedar isapan jempol, banyak juga enterpreneur pemula gagal sebelum
bisnis itu terbangun, alias layu sebelum berkembang. Kita dapat membutikan dengan
data yang ada, walaupun tidak significan,99% business gagal pada 10 tahun pertama.
Statistik menunjukan juga bahwa 90 % bisnis gagal setelah lima tahun pertama.
Statistik lain menunjukan 90 % dari 10 % dari binis yang dirintis mampu bertahan
pada lima tahun pertama, gagal di 10 tahun pertama.
Bagaimana bisa terjadi demikian? Berbagai alasan dikemukakan, tetapi ada beberapa kritik
yang perlu kita pertimbangkan sebelum memulai bisnis,
1.Biang keladi dari itu semua karena mind set keluarga dan lingkungan kita selalu
mengajarkan, sekolah yang pintar kemudian mencari pekerjaan alias menjadi pegawai,
karyawan atau buruh lebih menjamin masa depan dari pada berpayah – payah
merintis usaha.
2.Keahlian atau skill untuk menjadi karyawan jauh berbeda dengan skill untuk
menjadi entrepreneur. Padahal kenyataan yang ada, hampir semua sekolah tidak
mengajarkan bagaimana menjadi seorang enterpreneur.
3.Banyak enterpreneur gagal untuk membangun bisnis, disebabkan sikap mental,
lebih cenderung bermental pekerja dari pada pembisnis.
4.Banyak enterpreneur pemula cenderung bekerja lebih panjang dan dibayar kurang
dari karyawannya, sehingga kelelahan dan kekurangan tenaga, akhirnya putus asa
dan gulung tikar.
5.Enterpreneur baru pada umumnya memulai bisnis tanpa pengalaman dan modal.
6. Kurang mempunyai skill dan pengalaman dibidang jasa dan produk bisnis yang ditekuni.
Hal tersebut diatas pemicu kegagalan bagi pembinis pemula. Pernah ayah kaya saya
berkata, bahwa memulai bisnis seperti terjun dari sebuah pesawat tanpa parasit.
Diudara berusaha membuat parasit dan mengembangkannya. Apabila gagal setelah
turun di tanah, mulai lagi naik pesawat dan terjun lagi. Demikian terus menerus
dilakukan oleh pembinis pemula, sampai dengan berhasil.
Dalam buku saya, My Rich Dad, diceritakan disana, bagaimana perjuangan saya disaat
memulai bisnis. Mulai, gagal, bangkit. Jatuh bangun berulang – ulang,
tanpa menyerah dan putus asa. Sampai akhirny saya menemukan sebuah bisnis nilon
dan bisnis dompet Velco. Saya rasakan proses itu begitu panjang dan melelahkan
dan butuh kesabaran. Tetapi justru dari pengalaman tersebut, saya memperoleh
pengalaman bisnis yang membagakan.
Apakah kerja keras dan waktu panjang menjamin keberhasilan?
Suatu pertanyaan yang naïf. Banyak enterpreneur gagal karena terlalu banyak
kerja dan kelelahan. Semua pekerjaan dikerjakan sendiri. Pertimbangkan untuk
tidak keluar dari pekerjaan anda sebelum bisnis anda betul – betul mapan.
Saya contohkan teman saya, yang keluar dari Bank terkenal di Honolulu, karena
ingin menjadi enterpreneur, yang telah menjadi impiannya sejak kecil. Ia membuka
depot kecil bersama ibunya. Depot itu menyediakan menu makan siang untuk karyawan,
yang kebetulan bekerja pada kantor terdekat dilingkungan depot.
Setiap hari ia dan ibunya bangun jam 2 pagi untuk menyiapkan makanan, dari berbelanja
sampai memasak, menyiapkan piring dan menata meja, agar supaya menarik konsumen.
Mulanya ia sangat menikmati pekerjaannya dan bekerja penuh semangat, walaupun
penghasilannya kecil. Dan ia dengan bangga mengatakan pada saya, bisnis ini
akan saya kembangkan dan menghasilkan keuntungan yang melimpah, tetapi harapan
itu tidak pernah terwujud, karena tiba- tiba ibunya meninggal. Akhirnya depotnya
tutup, ia mencari pekerjaan lain, sebagai manager Francise fast food, akhirnya
ia menjadi karyawan lagi.
Ini sebagai contoh, bahwa bisnis yang dirintisnya tidak sempat berkembang, belum
menghasilkan keuntungan maksimal,dan teman saya gagal untuk menemukan parasitnya.
Dari obrolan tersebut diatas, dapatlah disimpulkan bahwa minset seseorang adalah
titik kunci segalanya. Mulailah berpikir secara enterpreneur dari pada sebagai
seorang karyawan.
Pada masa kecil dahulu, ayah miskin saya selalu memotivasi , “ belajarlah
yang rajin, meraih nilai tertinggi, kemudian memperoleh pekerjaan yang mapan”
Dari saran ayah miskin saya, dapatlah disimpulkan bahwa seseorang seharusnya
belajar dengan rajin, akhirnya memperoleh pekerjaan yang bagus.
Sebaliknya ayah kaya saya memberi saran, “ belajarlah untuk membangun bisnis sendiri,
memperkerjakan orang – orang berpengalaman dan jadilah wirausaha yang
mapan” Ayah kaya selalu memotivasi diri saya agar menjadi enterpreur yang
berhasil, walaupun bagaimana perjuangannya. Sebetulnya apa yang membedakan antara
seorang karyawan dan seorang enterpreneur.
Seorang karyawan mencari kerja pada sebuah bisnis yang telah terbangun, sebaliknya seorang enterpreneur memulai bisnis dari yang terkecil, kemudian memperkerjakan karyawan yang pintar dan berpendidikkan.
Ini bukanlah sekedar isapan jempol, banyak juga enterpreneur pemula gagal sebelum
bisnis itu terbangun, alias layu sebelum berkembang. Kita dapat membutikan dengan
data yang ada, walaupun tidak significan,99% business gagal pada 10 tahun pertama.
Statistik menunjukan juga bahwa 90 % bisnis gagal setelah lima tahun pertama.
Statistik lain menunjukan 90 % dari 10 % dari binis yang dirintis mampu bertahan
pada lima tahun pertama, gagal di 10 tahun pertama.
Bagaimana bisa terjadi demikian? Berbagai alasan dikemukakan, tetapi ada beberapa kritik
yang perlu kita pertimbangkan sebelum memulai bisnis,
1.Biang keladi dari itu semua karena mind set keluarga dan lingkungan kita selalu
mengajarkan, sekolah yang pintar kemudian mencari pekerjaan alias menjadi pegawai,
karyawan atau buruh lebih menjamin masa depan dari pada berpayah – payah
merintis usaha.
2.Keahlian atau skill untuk menjadi karyawan jauh berbeda dengan skill untuk
menjadi entrepreneur. Padahal kenyataan yang ada, hampir semua sekolah tidak
mengajarkan bagaimana menjadi seorang enterpreneur.
3.Banyak enterpreneur gagal untuk membangun bisnis, disebabkan sikap mental,
lebih cenderung bermental pekerja dari pada pembisnis.
4.Banyak enterpreneur pemula cenderung bekerja lebih panjang dan dibayar kurang
dari karyawannya, sehingga kelelahan dan kekurangan tenaga, akhirnya putus asa
dan gulung tikar.
5.Enterpreneur baru pada umumnya memulai bisnis tanpa pengalaman dan modal.
6. Kurang mempunyai skill dan pengalaman dibidang jasa dan produk bisnis yang ditekuni.
Hal tersebut diatas pemicu kegagalan bagi pembinis pemula. Pernah ayah kaya saya
berkata, bahwa memulai bisnis seperti terjun dari sebuah pesawat tanpa parasit.
Diudara berusaha membuat parasit dan mengembangkannya. Apabila gagal setelah
turun di tanah, mulai lagi naik pesawat dan terjun lagi. Demikian terus menerus
dilakukan oleh pembinis pemula, sampai dengan berhasil.
Dalam buku saya, My Rich Dad, diceritakan disana, bagaimana perjuangan saya disaat
memulai bisnis. Mulai, gagal, bangkit. Jatuh bangun berulang – ulang,
tanpa menyerah dan putus asa. Sampai akhirny saya menemukan sebuah bisnis nilon
dan bisnis dompet Velco. Saya rasakan proses itu begitu panjang dan melelahkan
dan butuh kesabaran. Tetapi justru dari pengalaman tersebut, saya memperoleh
pengalaman bisnis yang membagakan.
Apakah kerja keras dan waktu panjang menjamin keberhasilan?
Suatu pertanyaan yang naïf. Banyak enterpreneur gagal karena terlalu banyak
kerja dan kelelahan. Semua pekerjaan dikerjakan sendiri. Pertimbangkan untuk
tidak keluar dari pekerjaan anda sebelum bisnis anda betul – betul mapan.
Saya contohkan teman saya, yang keluar dari Bank terkenal di Honolulu, karena
ingin menjadi enterpreneur, yang telah menjadi impiannya sejak kecil. Ia membuka
depot kecil bersama ibunya. Depot itu menyediakan menu makan siang untuk karyawan,
yang kebetulan bekerja pada kantor terdekat dilingkungan depot.
Setiap hari ia dan ibunya bangun jam 2 pagi untuk menyiapkan makanan, dari berbelanja
sampai memasak, menyiapkan piring dan menata meja, agar supaya menarik konsumen.
Mulanya ia sangat menikmati pekerjaannya dan bekerja penuh semangat, walaupun
penghasilannya kecil. Dan ia dengan bangga mengatakan pada saya, bisnis ini
akan saya kembangkan dan menghasilkan keuntungan yang melimpah, tetapi harapan
itu tidak pernah terwujud, karena tiba- tiba ibunya meninggal. Akhirnya depotnya
tutup, ia mencari pekerjaan lain, sebagai manager Francise fast food, akhirnya
ia menjadi karyawan lagi.
Ini sebagai contoh, bahwa bisnis yang dirintisnya tidak sempat berkembang, belum
menghasilkan keuntungan maksimal,dan teman saya gagal untuk menemukan parasitnya.
Dari obrolan tersebut diatas, dapatlah disimpulkan bahwa minset seseorang adalah
titik kunci segalanya. Mulailah berpikir secara enterpreneur dari pada sebagai
seorang karyawan.
No comments:
Post a Comment